Jumat, 21 Juni 2013
Rabu, 19 Juni 2013
CUSHING SINDROM
1.
CUSHING
SYNDROME
A. PENGERTIAN
Sindrom
Cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari
peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini
dapat terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis farmakologik
senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A.Price;Patofisiologi, Hal 1088).
Nama
penyakit ini diambil dari Harvey Cushing seorang ahli bedah yang pertama kali
mengidentifikasi penyakit ini pada tahun 1912. Sindrom Cushing ini ditandai
dengan adanya peningkatan berat badan (obesitas), distribusi lemak pada bagian
leher (buffalo hump), dan di wajah (moon face), striae berwana ungu pada kulit,
osteoporosis, hiperglikemia, hipertensi, dan lain sebagainya. Jenis Sindrom
Cushing terbagi atas 2 yaitu : (1) Dependen ACTH dan (2) Independen ACTH.
B. ETIOLOGI
Sindrom Cushing
disebabkan oleh sekresi kortisol atau kortikosteron yang berlebihan, kelebihan
simulasi ACTH mengakibatkan hiperplasia korteks anak ginjal berupa adenoma
maupun karsinoma yang tidak tergantung ACTH juga mengakibatkan Sindrom Cushing.
Demikian juga hiperaktivitas hipofisis atau tumor lain yang mengeluarkan ACTH.
Sindrom Cushing yang disebakan tumor hipofisis disebut penyakit Cushing.
C. GEJALA
KLINIS
Gejala klinis yang
sering ditemukan pada Sindrom Cushing antara lain :
·
Obesitas sentral
·
Gundukan lemak pada punggung
·
Muka bulat (moon face)
·
Striae pada kulit paha, perut, dan
payudara
·
Berkurangnya masa otot dan kelemahan
umum
Tanda-tanda
lain dapat ditemukan seperti :
·
Atropi atau kelemahan otot ekstremitas
·
Hirsutisme (kelebihan bulu pada wanita)
·
Ammenorhoe
·
Impotensi
·
Osteoporosis
·
Atropi kulit (akne)
·
Oedema
·
Nyeri kepala
·
Mudah memar dan gangguan penyembuhan
luka
D. DIAGNOSA
LABORATORIUM
Screening test :
ü Urine
24 jam untuk kortisol dan kreatinin (N : fungsi gromerulus harus baik GFR
>30 ml/menit.
ü Dexamethasone
Supression Test ( N : < 5 ug/dl) : untuk menegakkan diagnosa penyebab
sindrom cushing.
Test konfirmasi untuk
Cushing Sindrome :
ü Kadar
kortisol serum
ü Kadar
plasma ACTH
ü Uji
Stimulasi ACTH ( cortisol > 20 ug/dl )
ü CT-Scan
(untuk menunjukkan pembesaran adrenal)
Daftar Pustaka
Sri,Fitrianti,dkk.
2012. Askep Sindrom Cushing. Makassar
: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Senin, 17 Juni 2013
BAKTERI PADA MAKANAN
BAKTERI
PADA MAKANAN
Penyakit asal makanan
yang disebabkan oleh mikroorganisme dan disebarkan melalui makanan menurut dua
mekanisme berikut :
1. Mikroorganisme
yang terdapat dalam makanan menginfeksi inang sehingga menyebabkan penyakit
asal makanan.
2. Mikroorganisme
mengeluarkan eksotoksin (produk toksik bakteri yang disintesis dan disekresikan
oleh bakteri hidup) dalam makanan dan menyebabkan keracunan makanan bagi yang
memakannya.
BAKTERI
PENYEBAB KERACUNAN MAKANAN
1.
Salmonella sp (Salmonellosis)
Infeksi
oleh bakteri genus Salmonella yang
disebut Salmonellosis menyerang
saluran gastrointestinal yang mencangkup perut, usus halus, dan usus besar.
Setelah
mengonsumsi makanan yang tercemar dengan Salmonella
sp akan timbul rasa sakit perut yang mendadak dengan diare encer atau
berair, kadang-kadang dengan lendir atau darah. Seringkali mual dan muntah,
demam dengan suhu 38-39 derajat celcius umum terjadi. Gejala ini ada
hubungannya dengan endotoksin tahan panas yang dihasilkan oleh Salmonella.
Beberapa spesies Salmonella
dapat menyebabkan infeksi makanan. Termasuk di dalamnya adalah Salmonella enteritidis var typhimurium dan varietas-varietas lain
serta Salmonella choleraesuis.
Bakteri ini adalah Gram negatif batang, memiliki flagel, dan tidak membentuk
spora. Dapat memfermentasi glukosa tetapi tidak memfermentasi laktosa atau
sukrosa.
EPIDEMIOLOGI
Terinfeksinya
manusia oleh Salmonella hampir selalu
disebabkan karena mengonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Makanan yang
biasanya tercemar meliputi kue-kue yang mengandung saus susu, daging cincang,
sosis unggas, dan telur. Walaupun penularan dari orang sakit dapat mencemari
makan dan minuman, sumber Salmonellosis merupakan
hewan tingkat rendah. Banyak spesies Salmonella
terdapat secara alamiah pada ayam, bebek, binatang pengerat, kucing,
anjing, kura-kura, dan banyak lagi hewan lainnya. Unggas peliharaan seringkali
menjadi sumber bagi infeksi pada manusia.
DIAGNOSIS
Diagnosis
laboratorium yang pasti bagi penyakit ini bergantung pada terisolasinya bakteri
penyebabnya dari feses. Bakteri ini harus sama dengan yang diisolasi dari
makanan yang dicurigai. Penggunaan media selektif seperti Mac Conkey merupakan prosedur rutin. Identifikasi mikrobanya
kemudian dilakukan dengan uji biokimia.
2.
Staphylococcus
Keracunan
makanan yang umum terjadi karena termakannya toksin yang dihasilkan oleh galur-galur
toksigenik. Staphylococcus adalah
organisme yang umumnya terdapat di berbagai bagian tubuh manusia termasuk
hidung, tenggorokan, dan kulit. Oleh karena itu mudah untuk memasuki makanan.
Organisme ini dapat berasal dari orang yang mengolah makanan yang merupakan
penular atau yang menderita infeksi patogenik. Karena merupakan tipe peracunan
makanan yang paling umum, dan untungnya lamanya sakit hanya sebentar (8-48
jam).
Gejala
akan segera terlihat setelah mengonsumsi makanan yang tercemar. Jumlah
enterotoksin yang termakan menentukan waktu timbulnya gejala serta parah
tidaknya infeksi tersebut. Pada umumnya akan terdapat gejala mual, pusing,
muntah, dan diare muncul 2-6 jam setelah mengonsumsi makanan tercemar itu.
Hanya
galur-galur tertentu dari Staphylococcus
aureus menghasilkan enterotoksin. Pada umumnya galur ini adalah koagulase positif
yaitu mempunyai kemampuan mengkoagulasi plasma darah yang diberi sitrat atau
oksalat. Enterotoksin yang dihasilkan panas, tidak berubah walau didihkan
selama 30 menit. Dibiarkannya makanan yang tercemar pada suhu kamar selama 8-10
jam, cukup untuk menghasilkan toksin dalam jumlah yang memadai untuk
menyebabkan keracunan pada makanan. Walaupun makanan ini disimpan selama
berbulan-bulan di almari es, toksinnya tidak akan termusnahkan. Jika dimasak
kembali, tidak akan mengurangi toksin tersebut.
EPIDEMIOLOGI
Manusia
merupakan sumber terpenting Staphylococcus
yang menghasilkan enterotoksin. Pada perjangkitan peracunan makanan oleh Staphylococcus biasanya dapat
ditunjukkan bahwa galur Staphylococcus di dalam makanan yang tercemar itu sama dengan
yang ada pada tangan orang yang menangani
makanan tersebut. Makanan yang dapat menunjang pertumbuhan Staphylococcus dengan baik merupakan
penyebab penyakit tersebut. Makanan yang pada umumnya ada kaitannya dengan
penyakit itu ialah kue-kue yang diisi saus dari telur dan susu, daging olahan
seperti ham dan lain-lain. Makanan yang mengandung enterotoksin dalam jumlah
yang banyak, biasanya mempunyai penampilan bau dan rasa yang normal.
DIAGNOSA
Diagnosis
dapat diperkuat oleh hasil pemeriksaan laboratorium di bawah mikroskop dengan
ditemukannya Gram positif coccus dalam jumlah banyak pada preparat pengecatan
Gram yang disiapkan dari makanan yang dicurigai. Dapat juga dibuat biakan dari
makanan tersebut untuk melihat ada
tidaknya Staphylococcus. Metode untuk
menguji enterotoksin didasarkan pada reaksi serologis, seperti teknik difusi
gel dan antibodi fluoresens.
3.
Clostridium botulinum (Botulism)
Botulism adalah
penyakit yang disebabkan oleh peracunan makanan oleh bakteri. Organisme
penyebabnya adalah Clostridium botulinum,
yang menghasilkan neurotoksin yang tidak tahan panas. Penyakit ini terjadi
karena makan toksin Clostridium botulinum
yang terdapat dalam makanan yang diawetkan dengan cara yang kurang sempurna
seperti yang dijumpai pada makanan kaleng. Gejala penyakit ini biasanya timbul
sekitar 12-48 jam setelah makan makanan yang tercemar. Gejala tersebut meliputi
kesulitan berbicara, biji mata melebar, pengelihatan ganda, mulut terasa kering,
mual, muntah, dan tidak dapat menelan.
Clostridium botulinum merupakan
Gram positif batang yang menghasilkan spora tahan panas. Sporanya membentuk
telur, letaknya sub terminal, dan sedikit membengkok sehingga memberikan bentuk
menggelembung pada sel. Clostridium
botulinum dapat bergerak dengan flagel peritrik dan tidak membentuk kapsul.
Yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah tipe A, B, E, dan F.
EPIDEMIOLOGI
Makanan yang dikaitkan dengan Botulism biasanya adalah makanan yang telah mengalami proses
pengolahan untuk tujuan pengawetan seperti pengalengan, pembuatan acar dan
pengasapan.
DIAGNOSA
Cara utama untuk memperkuat diagnosis Botulism di laboratorium ialah menunjukkan adanya toksin Clostridium botulinum dalam serum atau
feses penderita atau makanan yang dimakan. Suntikan intraperitoneal akan
mengakibatkan hewan mencit mati karena mencit sangat peka dengan toksin
tersebut.
4.
Clostridium perfringens
Clostridium perfringens merupakan
penyebab keracunan makanan. Penyakit ini disebabkan karena makanan yang
tercemari organisme tersebut dan dibiarkan pada temperatur yang menunjang
perkecambahan spora dan pertumbuhan vegetatif. Biasanya gejala timbul 8-24 jam
setelah mengonsumsi makanan yang tercemar. Gejala utamanya yaitu sakit perut
dan diare. Clostridium perfringens dibagi
menjadi 6 tipe, tipe A sampai tipe F. Berdasarkan pada toksinnya yang secara
antigenik berbeda dengan yang dihasilkan setiap galur. Tipe A adalah galur yang
menyebabkan peracunan makanan oleh Clostridium
perfringens. Organisme ini berbentuk Gram positif batang membentuk spora
anaerobik. Peracunan makanan disebabkan oleh sel vegetatif pada waktu membentuk
spora si rongga usus.
DIAGNOSA
Hasil pemeriksaan klinis dan epidemiologis akan ditunjang oleh
diagnosis laboratorium bila ditemukan sejumlah besar Clostridium perfringens dalam biakan aerobik makanan yang tercemar.
Berhasil diisolasinya organisme yang sama dari makanan yang dicurigai dan dari
feses penderita merupakan bukti lain sebagai penunjang.
5.
Vibrio parahemolyticus
Vibrio parahemolyticus adalah
suatu bakteri anaerobik fakultatif Gram negatif dan halofilik (suka garam).
Merupakan penyebab gastroenteritis akibat mengonsumsi makanan laut. Masa
inkubasi peracunan makanan ini adalah 2-48 jam. Gejala utamanya adalah sakit
perut, diare, mual, dan muntah. Seringkali disertai sedikit demam dan
kedinginan.
Diagnosis
laboratoris ditunjukkan terhadap isolasi Vibrio
parahemolyticus dari feses atau muntah penderita dari makanan yang
dicurigai. Pada umumnya cara pencegahan terbaik adalah penyimpanan makanan
dalam lemari es serta pemasakan makanan laut dengan semestinya.
Minggu, 09 Juni 2013
Infeksi Cacing terhadap Kesejahteraan Manusia
MAKALAH
PARASIT
INFEKSI
CACING TERHADAP KESEJAHTERAAN MANUSIA
Disusun
oleh :
RIRIN
PUJI ASTUTI
A.102.08.053
1B2
AKADEMI
ANALIS KESEHATAN NASIONAL
SURAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Lingkungan
hidup menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk di dalamnya manusia beserta perilakunya yang mempengaruhi
kehidupan dan kesejahteraan manusia.
Indonesia merupakan salah satu negara
yang masih menghadapi berbagai masalah kesehatan termasuk masih tingginya
prevalensi penyakit infeksi terutama yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan
dan perilaku higienitas yang belum baik. Salah satu penyakit yang insidennya
masih tinggi adalah infeksi cacingan yang merupakan salah satu penyakit yang
berbasis sanitasi dan higienitas yang buruk (Depkes RI, 1999).
Keadaan sanitasi lingkungan yang
belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah didukung oleh iklim
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor
penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan di Indonesia
(Zit, 2000).
Salah satu penyakit cacingan adalah
penyakit cacingan usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut dengan
Soil Transmitted Helminths yang
sering dijumpai pada anak usia Sekolah Dasar dimana pada usia ini anak masih
sering kontak dengan tanah. Ada 3 jenis cacing yang terpenting adalah cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), dan cacing cambuk (Trichuris trichiura).(Depkes RI, 2004).
Infeksi cacing merupakan
permasalahan kesehatan masyarakat yang utama di negara miskin atau negara
berkembang, dan menempati urutan tertinggi pada angka kesakitan yang
ditimbulkan pada anak usia sekolah. Terjadinya infeksi tidak hanya bergantung
pada kondisi lingkungan ekologi suatu wilayah saja, tetapi juga bergantung pada
standar sosial ekonomi masyarakat setempat.(Bethony, et.al.2004).
Penyakit
cacingan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Dari
hasil penelitian ternyata prevalensi penyakit cacingan masih tinggi, yaitu
60-70%. Tingginya prevalnsi ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban
udara tinggi di Indonesia, yang merupakan
lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing, serta kondisi sanitasi
dan higyene yang buruk.(Depkes, 2004)
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia
merupakan salah satu negara yang masih menghadapi berbagai masalah kesehatan
termasuk masih tingginya prevalensi penyakit infeksi terutama yang berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dan perilaku higienitas yang belum baik. Salah satu
penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi cacingan yang merupakan
salah satu penyakit yang berbasis sanitasi dan higienitas yang buruk (Depkes
RI, 1999).
Infeksi
cacing merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang utama di negara miskin
atau negara berkembang, dan menempati urutan tertinggi pada angka kesakitan
yang ditimbulkan pada anak usia sekolah. Terjadinya infeksi tidak hanya
bergantung pada kondisi lingkungan ekologi suatu wilayah saja, tetapi juga
bergantung pada standar sosial ekonomi masyarakat setempat.(Bethony,
et.al.2004).
Prevalensi
penyakit cacingan di Indonesia masih sangat tinggi terutama pada anak balita
dan usia Sekolah Dasar. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Adi Sasongko di
Jakarta periode 1986 – 1991, menemukan bahwa sekitar 60-90% siswa SD terinfeksi
oleh cacing. Meskipun tidak mematikan, tetapi cacingan dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada manusia berupa menurunnya kondisi gizi dan kesehatan
masyarakat. Dalam jangka panjang, pada anak-anak penyakit cacingan dapat
berdampak pada gangguan kemampuan dalam belajar.
Anak usia Sekolah Dasar merupakan golongan
masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang
potensial di masa yang akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan
untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik maupun intelektualnya. Dalam hubungan
dengan infeksi kecacingan, beberapa peneliti ternyata menunjukkan bahwa usia
sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering
berhubungan dengan tanah (Depkes RI,2004).
Penyakit cacingan ditularkan melalui
tangan yang kotor, kuku panjang dan kotor menyebabkan telur cacing terselip.
Penyebaran penyakit cacing salah satu penyebabnya adalah kebersihan perorangan
yang masih buruk. Penyakit cacing dapat menular diantara murid sekolah yang
sering berpegangan tangan sewaktu bermain dengan murid lain yang kukunya
tercemar telur cacing (Hendrawan, 1997).
Penyakit
cacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, terutama di daerah
pendesaan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang belum memadai,
kebersihan pribadi (Personal Hygiene), tingkat pendidikan dan sosial ekonomi
rendah dan perilaku hidup sehat yang belum memadai (Rampengan, 1997).
Salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan kecacingan adalah kurangnya
pengetahuan tentang kecacingan. Penelitian Wachidanijah,2002 menunjukkan bahwa
terdapat kecenderungan makin tinggi pengetahuan samakin baik perilaku dalam
hubungan kecacingan.
Langganan:
Postingan (Atom)